Rabu, 22 November 2017

Implementasi U-nik, Asal Jangan Bikin Panik

Ini memang bukan bicara tentang pacar apalagi jodoh. Kan, katanya kalau cari pasangan itu jangan yang pasaran. Harus unik biar mudah dikenali. Tapi, kalau terus suka bikin panik karena saking uniknya, repot juga ya. Makanya, mending yang wajar-wajar saja ya. Yang penting pas. Pas lagi dibutuhkan pas lagi ada. 

Persis seperti unik yang kali ini ingin saya bicarakan. Unik yang dimaksud adalah uang elektronik.
Jaman dulu kita mengenal istilah 'barter', yaitu saling bertukar barang yang dibutuhkan. Biasanya akan berkumpul di pasar pada hari tertentu yang sudah disepakati sebagai hari transaksi. Makanya, kita mengenal ada pasar Senin sampai dengan pasar Minggu. 

Bergeser dengan waktu, ditemukanlah mata uang sebagai alat tukar yang memudahkan manusia bertransaksi. Bahkan saat ini atau istilah gaulnya 'jaman now', kita juga masih dikuasai dengan mata uang, baik logam maupun kertas. Seperti halnya mengubah kebiasaan 'barter' menjadi berbelanja dengan uang, perubahan kultur memang bukanlah hal yang mudah dilaksanakan. Begitu menurut Firman Turmantara dari HLKI (Himpunan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia), pada Seminar "Implementasi Era Nontunai bagi Masyarakat maupun Pelaku Usaha" yang diselenggarakan pada tanggal 20 November 2017 kemaren di Bandung. Padahal pada kenyataannya, termasuk di Indonesia, sudah cukup lama juga mulai bermunculan pengganti mata uang ini, seperti kartu debit dari tabungan, kartu kredit, dan yang sekarang sedang banyak dicanangkan yaitu e-money alias u-nik (uang elektronik). 

Sebagai bank penyelenggara u-nik yang terdepan di Indonesia dengan istilah e-money, Bank Mandiri yang diwakili mbak Diah, bahkan mengeluarkan beberapa model kartu bergambar yang menarik, menyesuaikan dengan kondisi kekinian (saat ini yang diluncurkan adalah seri Justice Leagae, film teranyar yang sedang beredar di bioskop). Tentu saja tujuannya adalah supaya masyarakat semakin 'aware' atau menyadari adanya alat pembayaran baru yang tak ubahnya seperti uang di dompet dalam bentuk kartu. 

Supaya kesadaran masyarakat lebih cepat, bekerja sama dengan industri retail adalah sosialisasi yang efektif. Bahkan pak Henry Hendarto, sebagai sekretaris Aprindo (Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia) Jawa Barat menyampaikan manfaat positif dari e-money ini, yaitu selain lebih aman (tidak tercecer), akan lebih mempercepat transaksi, dan tentu saja dapat menekan kecurangan dalam transaksi (lebih akurat). Sehingga, untuk mendukung implementasinya, semua mini market atau supermarket di bawah Aprindo sudah menyediakan pembelian kartu u-nik ini dan top up-nya.

Rektor Universitas Sangga Buana sebagai tempat penyelenggara Seminar, Asep Effendi, yang mewakili pihak akademisi juga mendukung perubahan kultur ini, hanya saja PR besarnya adalah mengubah mind set menjadi pengguna dan pelaksana. Bagaimanakah cara yang paling efektif, harus bisa bercermin dari contoh peluncuran e-toll sebagai salah satu bentuk u-nik yang seolah masih bersifat sistemik dan pemaksaan. Masyarakat kurang keterlibatannya di dalam sosialisasi, sehingga pada saatnya tiba pemberlakuan transaksi di seluruh pintu toll yang terjadi malah banyak kendala (akibatnya antrian mengular di sepanjang pintu tol). Hal ini dikarenakan waktu 'tap' kartu e-toll cukup lama untuk setiap transaksi. Koreksinya adalah, apakah alat 'reader' yang bermasalah atau teknis 'tap' kartu yang memang kurang dipahami pengguna. 


Dari semua rangkaian diskusi ini, muara besarnya akan menjadi PR dari Bank Indonesia. Seperti yang disampaikan bapak Hermawan Yulianto, mulai dari regulasi, perijinan produk, pengawasan, pelaksanaan, hingga pem-fasilitasian pada saat bekerja sama di seluruh bidang. Infrastruktur dan payung hukum harus disiapkan. Jangan sampai maksud baik tapi caranya salah. U-nik yang bikin panik. 

Buat masyarakat tahunya uang elektronik adalah lebih positif, karena lebih praktis. Dompet tidak harus tebal. Tapi setiap kali butuh transaksi selalu ada. Tidak bikin panik, karena untuk membeli kartu atau isi ulang juga mudah diperoleh dan ada dimana-mana. 

Jadi, istilah cari jodoh harus yang berdompet tebal lama-lama akan luntur, berganti dengan 'cari jodoh harus yang unik dan punya banyak u-nik'. Siap-siap deh jadi masyarakat unik.