Jumat, 07 Oktober 2016

Mom’s Best Friend



Memiliki anak lelaki atau perempuan sebenarnya sama saja. Pada kenyataannya, mereka adalah sama-sama anugerah terindah yang diberikan Sang Maha Kuasa untuk diamanahkan kepada kita. Namun, kali ini saya ingin berbagi cerita tentang anak lelaki sebagai anak sulung. Ada banyak hal yang bisa menjadi keberuntungan dan kelebihan, terutama untuk para Mom ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa karena suatu hal harus hidup sebagai seorang ibu sekaligus seorang ayah bagi anak-anaknya.

Adalah kepastian bahwa setiap pasangan suami-istri, atau sebagai ayah-ibu, bahwa suatu saat akan terpisahkan oleh sebuah takdir dari Sang Maha Pemiliki Waktu. Namun caranya saja yang berbeda-beda. Beberapa orang dihadapkan pada kenyataan harus kehilangan pasangan karena kematian. Yang mengalami seperti ini mungkin merasa bahwa situasinya sangat menyakitkan, sebab tidak pernah ada kesempatan untuk bisa bertemu lagi. Tapi, bagi yang berpisah karena perceraian pun sebenarnya mengalami hal yang sama, terlepas dari apapun alasan yang mendasari, mereka akan merasa tersakiti berkepanjangan karena pengalaman buruk yang dilewatinya. Bahkan ada juga untuk suatu alasan yang sifatnya hanya sementara, misalnya ditinggal tugas ke tempat yang jauh (ke luar kota atau luar negeri) dalam waktu yang cukup lama. Intinya, semua situasi itu menyisakan kondisi yang hampir sama, ada perasaan sedih dan kehilangan. Pada seorang wanita, situasi ini menjadi cukup signifikan karena secara kodrati memiliki kehalusan perasaan yang lebih dibandingkan laki-laki. Kondisi emosional lebih mendominasi pemikiran rasional. Dalam istilah kekinian, wanita biasanya lebih mudah ‘baper’ (=terbawa perasaan).

Namun, apakah kerena kondisi sedih dan kehilangan tersebut lantas seorang wanita, terutama Mom yang Single Parent, kemudian harus menjadi kehilangan semangat hidup? Sama sekali tidak. Memiliki anak, adalah sebuah situasi yang sangat menguntungkan buat Mom, meskipun bagi yang belum memiliki anak pun tidak berarti juga harus berkecil hati. Intinya, cobalah mengalihkan perasaan sedih dan kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan kita selama bertahun-tahun dengan memberikan perhatian yang lebih banyak buat orang-orang yang ada di hadapan kita saat ini. Salah satunya adalah anak-anak kita.

Lalu kenapa di awal saya bercerita kalau memiliki anak laki-laki menjadi keberuntungan tersendiri? Karena kenyataannya itu yang saya alami dan ingin saya bagi sebagai seorang Mom. Perpisahan yang saya alami setelah kurang lebih 15 tahun pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk diputuskan. Mestinya sudah melewati beberapa pertimbangan dan alasan yang kuat menurut versi masing-masing pihak, termasuk melibatkan kemungkinan imbasnya kepada anak. Pada saat keputusan diambil, saya sudah memiliki seorang anak laki-laki yang pada waktu itu berusia 6 tahun. Masih sangat muda memang. Ia masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Bahkan, sedikit atau banyak ia juga sempat mengalami guncangan psikologis. Masih teringat di benak, betapa dari keseharian yang biasanya sangat ceria dan ramai berceloteh, ia berubah menjadi agak pendiam dan seperti menarik diri dari keriuhan dengan teman-teman atau saudara-saudaranya. Tapi itu hanya terjadi sebentar saja. Alhamdulillah. Setiap anak tentu menangkap situasi ini sebagai stimulus dan meresponnya dengan cara yang berbeda-beda. Tentunya ada banyak hal atau faktor yang menyebabkan seperti itu. (Insya allah saya akan sharing tentang hal ini secara khusus dalam artikel yang lain ya)

Singkat cerita, saat ini di usianya yang sudah 11 tahun (sudah kelas 6 SD), ternyata si anak sudah mengalami perubahan yang luar biasa mengejutkan. Boleh dikatakan amazing buat saya sebagai ibunya. Perjalanan berdua selama kurang lebih 5 tahun selalu bersama-sama (meskipun saya pernah 2 tahun bulak-balik Jabodetabek-Bandung) dalam suka dan duka telah membentuknya menjadi laki-laki kecil yang sangat bijaksana. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah saya miliki. Bukan hanya karena dia tulus dan ‘no mudus’ (= tidak ada embel-embel yang diharapkan dari kebaikan yang disampaikan), tetapi karena ternyata dia bisa kita ajak menjadi teman hidup dan bahkan menjadi teman diskusi sekalipun. Ko bisa? Gimana caranya?



Sebenarnya, saya sendiri juga tidak punya formula khusus untuk hal itu. Tapi beberapa referensi baik dari buku ataupun cerita sahabat, dan tentunya pengalaman pribadi yang saya lewati mungkin bisa jadi tambahan pengetahuan buat teman-teman supaya lebih memperhatikan hal-hal berikut:

1.       Pahami psikologis perkembangan anak
Meskipun tidak kuliah di jurusan Psikologis, kita tidak perlu juga harus punya buku-buku tebal tentang hal ini secara khusus. Mencari melalui artikel-artikel sederhana pun sudah sangat membantu dan sangat mudah diperoleh, baik melalui media cetak apalagi melalui internet

2.       Perlakukan dia sebagai seorang manusia utuh dan menghargai keberadaan mereka apa adanya.
Mengkhawatikan kondisi anak memang perlu. Kita sebagai orang tua dituntut untuk bertanggung jawab dan memastikan mereka selalu dalam keadaaan baik-baik saja. Namun memberikan perhatian berlebihan pada anak malah akan membangun rasa “tidak percaya diri”. Mereka merasa tidak dianggap sebagai “seseorang” (=somebody/ subjek) tetapi hanya menjadi “sesuatu” (=something/ objek). Karena itu, menurunkan rasa kuatir yang berlebihan dengan memberikan kepercayaan kepada anak adalah langkah bijak untuk menambah kepercayaan dirinya.

3.      Berikan kebebasan untuk belajar mengambil keputusan
Pada beberapa kasus sederhana, saya juga seringkali memberikan kesempatan pada anak untuk belajar memilih dan memutuskan. Misalnya, sewaktu hari libur pilihan aktivitasnya yang bisa ditawarkan berenang, main ke “timezone” atau makan-makan di restoran favorite. Dengan memberikan kesempatan pada anak sebagai pengambil keputusan, ia bisa belajar banyak. Selain berhitung tentang pengeluaran, ia juga belajar bertanggung jawab dengan pilihannya dan menerima konsekuensi bahwa ia tidak bisa selalu memperoleh yang diinginkan secara langsung atau bersamaan

4.      Tempatkan dia tidak hanya sebagai anak tetapi juga sebagai teman atau partner
Bahkan pada saat menghadapi masalah yang cukup berat pun, saya akhirnya bisa mengajak bicara anak dan menyampaikan berbagai kemungkinan situasi yang dihadapi. Terbiasa mengajak ia diskusi menjadikan ia lebih peka dan lebih cepat memahami masalah. Sehingga kita punya teman berbagi di rumah. 

5.      Percaya bahwa dia mampu melakukan apapun dalam kapasitasnya (sesuai dengan minat dan potensinya)
Tidak terlalu memaksakan kehendak atau keinginan kita di masa lalu yang tidak tercapai kepada anak. Sebab mereka juga membawa harapan dan cita-cita sendiri untuk bisa diwujudkan. Sebaliknya, kita selalu mendorong dan percaya bahwa apapun yang dilakukan mereka hari ini akan menghasilkan yang terbaik buat dirinya di masa depan. Yang terpenting kita selalu mengingatkan mereka agar selalu berada di track yang benar dan tidak melenceng. Selebihnya, biarkan mereka dengan mimpi-mimpi terbaiknya.

6.       Selebihnya, memasrahkan diri dan menyerahkan hidup pada Sang Maha Pemilik
Yang terakhir ini mungkin bersifat sangat abstrak dan bakal kembali kepada masing-masing individu. Tapi paling tidak saya juga hanya ingin mengingatkan, bahwa sekuat apapun kita menginginkan sesuatu hal tapi jika Allah tidak ijinkan maka akan sulit kita raih. Dan sebaliknya, kita juga terkadang tidak pernah bisa menduga yang Allah berikan buat umatNya yang selalu meminta dan berdoa. Yang menjadi bagian kita sebagai orang tua, terutama ibunya tinggal mendoakan supaya anak-anak kita peroleh yang terbaik.

Kalau kita sudah melakukan berbagai hal yang terbaik buat anak-anak kita mestinya kita juga bakal peroleh timbal balik yang setimpal. Insya Allah. Mereka ada untuk menemani kita dalam mengarungi hidup. Kecil bukan berarti ringkih, hanya tubuhnya yang belum optimal berkembang. Polos bukan berarti tanpa kemampuan berpikir, mereka hanya perlu waktu dan kesempatan. So Mom, masih tidak percaya kalau kita ternyata bisa punya Best Friend? Aku sudah punya seorang Best Friend Forever..

(didedikasikan untuk anakku tercinta, Muhammad Atilla Baseer, 11 tahun, kelas 6 SD, terima kasih sudah menadampingi perjalanan “roller coaster” yang terdahsyat sampai hari ini. You are my Best Friend Forever, and please don’t grow up too fast, stay to be my minion, my little sunshine, and my everything. Love you much)

Profil :
Yuke Rachma, seorang ibu dari satu orang anak, HRD Manager & GA di salah satu outsourcing security di Kota Bandung, sebagai praktisi Human Resources sejak tahun 2007.

Rabu, 31 Agustus 2016

Relationship Goals antara Ayah dan Anak Perempuannya



Akhir-akhir ini media sosial (medsos) makin marak memperlihatkan kedekatan suatu hubungan di antara pasangan pria-wanita dengan hastag Relationship Goals. Apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan Relationship Goals? Kenapa postingan-postingan yang berbau hastag ini bisa menjadi begitu viral dan banyak disukai pengguna medos? Terutama yang berbentuk gambar atau foto. 

Mari kita simak dulu sedikit tentang arti Relationship Goals biar kita bisa paham dengan fenomenanya. Berdasarkan hasil pencarian di internet yang paling populer muncul artinya adalah kurang lebih sebagai suatu hubungan antara dua orang yang menjadi dambaan setiap orang yang melihatnya dan bisa membuat seseorang (terutama gadis) menjadi iri. Biasanya terjadi pada pasangan selebritis atau pasangan-pasangan yang populer di sekolah.  (When two people are in a relationship and girls envy them, usually a celebrity couple or popular couple in high school). Dengan kata lain, jika dua orang, laki-laki dan perempuan, terlibat dalam suatu hubungan yang bisa membuat orang-orang di sekitarnya iri, maka mereka masuk dalam Relationship Goals. Bisa dalam kehidupan nyata maupun melalui postingan-postingan di dunia maya atau media sosial.

Kenapa menjadi lantas bikin iri? Kalau kita coba buka postingan-postingan yang dimaksud (di medsos apapun sangat mudah ditemukan) maka kita jadi paham, sebab tak sedikit gambar-gambar atau foto-foto yang biasanya memperlihatkan keberanian di antara dua sejoli dalam hubungan mereka. Dari yang paling sederhana hanya foto berdua saling berdekatan, sampai berpegangan tangan atau berpelukan, bahkan diantaranya ada yang sampai berani mengumbar kemesraan yang vulgar (yang seperti ini tampaknya yang menjadi pemicu viral). Contoh yang hangat munculnya kasus Awkarin, seorang remaja putri berusia 19 tahun yang banyak mengumbar tentang hubungannya dengan pacar dan diakhiri dengan sebuah pengakuan menyedihkan di media sosial. Siapapun, apalagi remaja yang masih labil dan terbawa arus, akan mudah suka dan tertarik ikut-ikutan. Disinilah fungsi orang tua dituntut untuk tetap bisa mengambil peran sebagai filter buat remaja dalam memahami dan menyikapi gempuran media sosial yang makin tidak tertahankan.

Lalu apa kaitannya dengan Relationship Goals di antara ayah dan anak perempuan? Meskipun saya tidak memiliki anak perempuan, tapi saya cukup tertarik untuk membahas hal ini karena tentu saja saya juga dulu pernah mengalami sebagai remaja perempuan, bahkan sampai hari ini pun saya adalah anak perempuan dari seorang ayah. Rasanya penting bagi saya untuk bisa berbagi pikiran bukan hanya sebagai sesama orang tua tapi juga sebagai sahabat bagi anak-anak perempuan kita. Dan sepertinya kita tidak bisa menutup mata kalau akhir-akhir ini banyak terjadi kejahatan seksual terhadap remaja perempuan yang salah satu pencetusnya adalah kemudahan dalam mengakses gambar-gambar porno di internet (media sosial) oleh pelakunya. Miris rasanya kalau anak-anak perempuan yang sedang tumbuh dan harusnya berkembang menjadi wanita-wanita dewasa terhormat yang akan menjadi penerus generasi berikutnya, terpaksa layu dan mati sia-sia.

Kalau begitu, kenapa mesti dikaitkan dengan Relationship Goals? Di sini saya hanya ingin mengajak para orang tua, khususnya ayah, untuk mulai membentengi anak-anak perempuannya dari dahsyatnya teknologi. Kalau perlu sejak dini. Dalam sebuah artikel di kompasiana.com dibahas beberapa penelitian menyebutkan bahwa anak-anak yang banyak mendapatkan sentuhan dan didikan ayah semasa proses tumbuh kembangnya ternyata memiliki kemampuan sosial, bahasa dan prestasi akademis yang lebih baik. Keterlibatan ayah dalam proses pendidikan, pengasuhan, dan tumbuh kembang anak juga akan berdampak baik bagi perkembangan kognitif dan emosional dan membuat anak menjadi lebih percaya diri dan berani. Pada tahap bayi hingga balita sebaiknya seorang ayah juga punya andil dalam perawatan anak sewaktu bayi dan balita. Pada tahap pra-remaja hingga remaja seorang anak cenderung tidak mau bercerita pada ayah, namun pada ibu. Jadi, sebaiknya ayah harus membangun kepercayaan agar anak mau bercerita dan terbuka mengenai hal-hal yang dialaminya. Belajar mengambil hati seorang anak. Begitu juga sebaliknya pada saat remaja, ayah harus menjaga kepercayaan anak dan membantu mencari solusi saat anak mengalami masalah. Ayahpun memiliki pengaruh pada pembentukan harga diri dan jalinan asmara anak. Sebagian besar anak perempuan memiliki keinginan untuk mempunyai pasangan hidup yang memiliki kepribadian maupun karakter yang tidak jauh berbeda dari seorang ayah. Karenanya, amat mutlak dan sangat penting untuk seorang ayah untuk menyayangi putrinya serta menghormati ibunya supaya anak tahu bahwa kelak ia harus mampu mendapatkan pasangan hidup yang mampu menghormati dirinya. 

Apabila setiap ayah (orang tua) yang setuju dengan pentingnya kedekatan hubungan antara ayah dengan anak perempuannya lantas setuju juga dengan mulai membangun Relationship Goals yang saya maksud tadi, bisa dibayangkan mungkin postingan-postingan ataupun perilaku yang diperlihatkan langsung di depan umum bakal jadi pengerem atau kalau mungkin bahkan harus bisa menyaingi gempuran negatif medos menjadi gempuran positif melalui gerakan Relationship Goals antara ayah dan anak perempuannya.

Hal ini sebenarnya sudah banyak dilakukan, terutama di kalangan artis atau selebritis yang memang penting buat mereka berbagi setiap moment. Contohnya Gempita (Baby Gempi) anak dari pasangan Gisela dan Gading Martin, tidak sedikit bahkan bisa ribuan orang yang menunggu postingan yang memperlihatkan kedekatan dengan sang ayah. Diantara orang-orang awam pun sudah banyak. Saya punya teman yang suka memposting foto-foto yang memperlihatkan kedekatan hubungannya dengan sang anak perempuan. Ini menjadi sangat positif untuk memperkuat  karakter yang dibangun si anak perempuan. Mereka menjadi merasa lebih aman dan percaya diri. Mengetahui bahwa dirinya dicintai dan diperhatikan, menjadi dasar yang kuat untuk membangun benteng pertahanan dari tekanan lingkungan yang kurang bersahabat. Apalagi kalau dikaitkan dengan sebuah statement “The only one man in the world who never hurts you is father”, maka tidak salah kalau buat anak perempuan ayah adalah pahlawan yang selalu hadir pada setiap moment penting dalam hidup. Lahir, ulang tahun, kelulusan sekolah, hari pernikahan, bahkan sampai akhir hayat, dukungan semangat yang bisa ditularkan dari Relationship Goals yang dibangun, harapannya tidak hanya menjadi sekedar membuat iri bagi orang-orang yang melihat, namun harus menjadi inspirasi bagi anak laki-laki atau laki-laki dewasa untuk belajar lebih menghargai wanitanya atau anak-anak perempuannya. Yes?

(didedikasikan untuk ayahku Rachmat Saleh Permana, SH., amazing father Iqbal Yoez, dan ayah-ayah lain yang ada di dunia ini, terima kasih banyak untuk telah menjadi inspirasi dan masih mendampingi sebagai ‘the best father in the world’ sampai hari ini)

Profil :
Yuke Rachma, seorang ibu dari satu orang anak, HRD Manager & GA di salah satu outsourcing security di Kota Bandung, sebagai praktisi Human Resources sejak tahun 2007.

Jumat, 12 Agustus 2016

Pilihan Bekerja Sesuai Passion atau Karena Kehangatan Hubungan



Manakah yang lebih kuat menarik karyawan untuk mempertahankan pekerjaannya di suatu perusahaan? Karena passionnya kah atau karena hangatnya hubungan dengan orang-orang yang ada di perusahaan tempat ia bekerja?

Sebagai seorang manajer atau atasan, seringkali kita dapati situasi dimana karyawan yang sedang kita bina tiba-tiba mengajukan resign. Padahal kita sudah melewati banyak waktu dan mengeluarkan banyak energi juga untuk mendidik mereka supaya kinerjanya sesuai dengan yang kita harapkan. Ujung-ujungnya, kita bukan hanya kehilangan supporter yang bisa mendukung pencapaian target di bagian/ departemen ataupun divisi yang kita pimpin. Kita juga kehilangan sebagian energi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi. Pada puncaknya, kita harus memulai lagi dari awal untuk membangun tim yang terganggu menjadi tim yang solid lagi. Jelas, pencapaian target sesaat ataupun jangka panjang dapat terhambat. Dapat terselesaikan karena dua kemungkinan, tim yang masih ada dapat segera mengambil alih kekosongan personel (back up) atau tim mendapat personel pengganti yang kualifikasinya sesuai dengan cepat.

Di sisi lain, sebagai seorang karyawan juga seringkali dihadapkan pada kondisi ‘galau’ (bimbang dengan kondisi yang dihadapi), apakah ingin melanjutkan pekerjaan di suatu tempat atau ingin memilih pindah ke tempat lain. Dengan alasan yang tentunya juga beragam. Mulai dari keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, yang jarak tempuh dari rumah lebih dekat, yang memberi gaji lebih besar (tentunya ini akan sangat banyak dicari), dan tak sedikit juga yang ingin mencari kenyamanan dalam bekerja. Hal ini berkaitan dengan kepuasan kerja.


Dapat bekerja di sebuah perusahaan besar dan mapan tentu menjadi harapan setiap orang. Apalagi jika kita memperoleh posisi atau bidang pekerjaan yang sesuai betul dengan passion. (Passion is a very strong feeling about a person or thing. Passion is an intense emotion, a compelling enthusiasm or desire for something). Dapatlah dibayangkan orang tersebut tidak hanya akan memperoleh kepuasan kerja secara professional, namun secara pribadipun ia akan sangat menikmati hari-hari kerja dengan tumpukan tugas dan menjalankan tuntutannya dengan senang hati. Yang seperti ini akan bertahan lama. Hanya saja, pekerjaan impian seperti ini bukan saja menuntut kemampuan yang prima (kualifikasi yang harus dipenuhi pastilah sangat panjang), tentunya juga menuntut hasil kesesuaian bidang (psikotes) yang tesnya selalu dianggap sulit oleh sebagian besar orang awam. Artinya, sebagian karyawan yang memilih bekerja karena passion tentu karena ia juga memiliki kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan di bidangnya dan lulus psikotes. Sebagian lain, karena beruntung lulus wawancara tanpa psikotes (tidak melalui psikotes tetapi memperoleh bidang pekerjaan yang sesuai minat). Lalu bagaimanakah nasib karyawan yang tidak pernah lulus tes kesesuaian bidang? Apakah ia tidak memiliki peluang untuk bekerja, bertahan lama, dan merasa puas dengan yang ditekuninya?

Contoh situasi yang ada saat ini terjadi di salah satu perusahaan outsourcing security di Bandung. Turn over yang terjadi termasuk sangat tinggi. Dan kenyataannya tidak hanya di perusahaan ini saja, tapi di tempat lain yang sejenis juga tampaknya keluar masuk karyawan menjadi kegiatan rutin setiap bulan, bahkan mungkin setiap minggu. Pertanyaannya, apakah semua anggota security itu selalu berpindah-pindah? Ternyata tidak. Meskipun tidak sampai 50% nya saja sisa yang bertahan di suatu tempat, tapi mereka sanggup menunjukkan loyalitas yang cukup tinggi terhadap perusahaan. Kebanyakan dari mereka merasa sudah nyaman dengan kondisi pekerjaan di lapangan, dan yang lebih penting lagi adalah mereka merasa sudah nyaman dengan hubungan yang terjalin di antara rekan-rekan kerja satu tim ataupun dengan atasan langsung. Saling mem-backup ketika ada anggota security yang sakit, saling mendukung ketika ada yang mengalami musibah, saling berbagi ketika ada situasi bahagia, dan sebagainya. Kenyamanan hubungan inilah yang sepertinya mendukung terbentuknya kepuasan kerja buat sebagian besar anggota security di lapangan. Bahkan tak jarang mereka menolak untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi atau pindah lokasi kerja dengan alasan sudah cukup nyaman di tempat bekerja yang sekarang.

   
Teori yang disampaikan Wexley dan Yukl (1977) berpendapat bahwa pekerjaan yang terbaik bagi penelitian-penelitian tentang kepuasan kerja adalah dengan memperhatikan baik faktor pekerjaan maupun faktor individunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu gaji, kondisi kerja, mutu pengawasan, teman sekerja, jenis pekerjaan, keamanan kerja dan kesempatan untuk maju serta faktor individu yang berpengaruh adalah kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya, nilai-nilai yang dianut dan sifat-sifat kepribadian. 


Tampaknya, jika menilik pada kondisi yang dicontohkan tadi serta teori Wexley dan Yukl (1979), maka kebutuhan-kebutuhan individu inilah yang patut kita perhatikan, ketika kesesuain minat dengan bidang kerja (hasil psikotes) atau passion tidak diperoleh seorang karyawan untuk dapat bertahan lama di suatu perusahaan. Dengan begitu, sebagai karyawan tidak perlu berkecil hati lagi dan merasa bahwa pekerjaan yang ditekuninya tidak akan memberikan kepuasan. Tidak perlu terus-menerus melamar ke sana kemari untuk mendapatkan pekerjaan lain yang dianggap lebih sesuai. Cukuplah mencari kenyamanan itu dengan memenuhi kebutuhan lain yang lebih memungkinkan. Salah satunya adalah dengan membangun hubungan yang lebih menyenangkan dengan rekan-rekan kerja atau atasan. Hal ini, tentu berlaku sebaliknya buat manajer atau atasan. Kalau ingin bawahannya lebih kerasan dan bertahan lama, mendekatkan diri secara lebih personal menjadi pilihan yang baik agar karyawan merasa diperhatikan.



 
Profil : 
Yuke Rachma, HRD Manager & GA di salah satu outsourcing security di Kota Bandung, sebagai praktisi Human Resources sejak tahun 2007.