Minggu, 02 September 2018

Seminar Telekomunikasi dan Informatika SELISIK 2018

Memahami Lebih Lengkap Sumber Daya Manusia yang Siap Menghadapi Industri 4.0

Luar biasa beruntungnya saya jadi lebih paham apa yang dimaksud Making Indonesia 4.0. Itu ungkapan yang melintas di kepala saya ketika akhirnya bisa hadir dalam Seminar Telekomunikasi dan Informatika alias SELISIK 2018, yang dihadiri akademisi dan mahasiswa. Kali ini mengambil judul "Menyiapkan Sumber Daya Manusia untuk Menghadapi Industri 4.0".

Diselenggarakan di Hotel Harris Festival Citylink Bandung pada tanggal 1 September 2018. Melanjutkan Diskusi Publik sebelumnya, STTBandung sebagai bagian dari Perguruan Tinggi tampaknya sangat nyata ingin ikut di dalam mempersiapkan kompetensi Sumber Daya Manusia. Sehingga, khususnya lulusan dari Perguruan Tinggi ini kelak tidak hanya bermodalkan ilmu, wawasan dan hasil riset, tetapi juga mampu mengintepretasikannya dalam bentuk produk yang bernilai jual, sebagai bagian dari bisnis atau industri itu sendiri.

Menurut Bapak Muchammad Naseer, pada sambutan pembukaan sebagai pimpinan STTBandung, bahwa platform penelitian Perguruan Tinggi saat ini ditantang untuk bisa menerjemahkan semua roadmap Making Indonesia 4.0. Namun, kunci keberhasilannya tentu saja tetap pada adanya hubungan yang harmonis dalam siklus yang berkesinambungan, baik dari pemerintah, pelaku industri, Perguruan Tinggi dan juga masyarakat. Maka, Making Indonesia 4.0 tidak hanya akan berhenti sebagai konsep, melainkan perubahan mind set (cara berpikir) dan action (tindakan) dari semua kalangan.

Sempat diselingi siraman rohani dari Prof. Ing. Iping Supriana Suwardi, Guru Besar dari ITB. Beliau mengingatkan kita bahwa Industri 4.0 ini pada dasarnya adalah pemahaman yang baik terhadap komputer dari Sumber Daya Manusianya. Dimulai dari, apakah itu Algoritma? Berasal dari Al Khawarizmi, seorang ilmuwan muslim yang mengelola data raksasa, dengan cara membagi-bagi. Bagaimana memahami sel dalam memproduksi sel? Bagaimana memecahkan persoalan berdasarkan bagian per-bagian.

Maka, dasar ini yang bisa digunakan utk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Yaitu dengan mengingat kepada nilai fundamentalnya. Bahwa mahluk hidup pun tercipta dari banyak sel seperti algoritma. Sehingga, memahami komputer sama dengan memahami manusia, sebagai mahluk hidup yang diciptakan oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Dengan demikian, mempelajarinya harus memiliki landasan bukan hanya pada akal tetapi juga pada rohani atau keimanan. Manusia tetap menjadi Imam atau Khalifah atas teknologi. Jangan sampai mendewakan teknologi dan melupakan landasan agama dalam pengembangan atau pemanfaatannya.

Dilanjutkan dengan penyampaian materi yang segar dari Bapak Priyantono Rudito, Ph.D. Beliau adalah Tenaga Ahli Mentri Pariwisata Republik Indonesia. Pantas saja kepiwaiannya berkomunikasi sangat terasa. Menyampaikan materi yang cukup serius menjadi sangat asik untuk diikuti. Kali ini, dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia menghadapi Industri 4.0, beliau mengusung konsep "DIGITAL MASTERY". Dengan metode 3 C (Context, Concept, Dan Content), peserta dibuat mampu menyerap materi yang dipadatkan, dari seharusnya 4 jam menjadi 50 menit saja.

Dimulai dari strategic context, kita harus pahami dua hal. Pertama, bahwa "We are truly living in digital era". Sadari dan terima bahwa kita tak dapat menolak untuk hidup di era digital. Kedua, bahwa setiap perubahan era itu terjadi "Lebih cepat dari yang diperkirakan". Kita tidak dapat menahan laju masuknya era digital dan perkembangannya.

Bagaimana itu bisa terjadi? Karena ada yang memacunya. Ada 6 hal yang dianggap sebagai digital steroids, yaitu :
1. Board brand access
2. Internet
3. Open Source
4. Application
5. Social media
6. Smart gadget

Sederhananya, mencari informasi apapun sudah tinggal 'klik'. Termasuk kebutuhan ibu-ibu untuk menyediakan masakan di rumah sekalipun. Ibaratnya sudah tidak butuh pisau dan peralatan dapur lagi. Sebab, tinggal 'klik' aplikasi di Hand phone, makanan sudah bisa diantar di depan mata (aka. By Go Food). Waaahh... Pak Priyantono sempet mengecoh saya. Saya pikir ada alat lebih canggih yang bisa memasak instan dari sekedar Microwave atau panci pressto. Ternyata, Industri 4.0 bukan hanya sampai di situ. Produk yang dihasilkan adalah sesuatu yang intinya memudahkan kegiatan manusia. Di sinilah revolusi terjadi. Dari revolusi teknologi bisa langsung berakibat pada revolusi ekonomi pula.

Namun, pada prinsipnya tetap bahwa "Digitalisation is the new normal toward Industry 4.0". Artinya, yang dihasilkan adalah tidak selalu hal yang benar-benar baru. Hanya mengubahnya menjadi 'Disruptive Product' alias menawarkan value yang tidak dapat ditolak oleh customer. Contoh yang paling relevan saat ini, hampir semua orang sudah beralih dari sekedar SMS ke platform Whatsapp. Kenapa? Karena value yang ditawarkan nyata diperlukan oleh semua kalangan.

Tinggal tugas akhirnya adalah pada strategic challenge, bagaimana cara mentransformasi digital informasi itu? Menurut Pak Priyantono harus "Going from BEST to NEXT PRACTICE". Jadi, bukan berakhir pada menghasilkan yang terbaik lagi, tetapi bagaimana membuka hambatan dari dalam diri supaya bisa menghasilkan sesuatu untuk ke depan (bukan sekedar hari ini).

Bagaimana caranya? Sejalan dengan yang disampaikan Pak Iping sebelumnya,  ternyata tetap meyakini bahwa Human Capital adalah core dimensi dari tranfsormasi digital yang sangat multidimensi ini. Digital Leadership yang berasal dari kemampuan kepemimpinan sebagai manusia yang alami, dikuatkan dengan Digital Attitude dan Digital Culture. Salah satu bentuknya adalah kreativitas dan inovasi yang tanpa henti, akan mengasilkan Business Performance yang terbaik.

Hanya saja, yang tak boleh diabaikan bahwa kunci untuk memperlancar industri 4.0 adalah kolaborasi antar generasi. Pemikiran baru dan out of the box karena belum banyak beban dari generasi millennial, didukung kebijakan dan otoritas dari generasi industri sebelumnya, tentu akan makin memudahkan sebuah ide bisa langsung dieksekusi.

Penutup dari Pak Priyantono, bahwa target Sumber Daya Manusia yang akan dibangun adalah bukan lagi sekedar di kuadran 1 sampai 4 dari Digital Capability dan Digital Leadership, tetapi loncat pada kuadran 9, yaitu yang Rahmatan Lil Alamin. Tujuannya bukan lagi untuk bisnis, tapi untuk kebaikan. Salah satu contohnya adalah Mark Zuckerberg yang mengembangkan Facebook bukan untuk bisnis, tetapi untuk memudahkan orang-orang untuk saling terhubung. Kenyataannya, nilai bisnisnya bukan mengalami perkembangan 100% tapi malah ribuan %. Luar biasa, bukan?

Melengkapi materi seminar hari ini, Bapak Prof. Suyanto, Rektor Universitas Amicom, memaparkan banyak contoh real dari persiapan Human Capital Development In Industry 4.0. Beliau membagikan banyak pengalaman dari mahasiswa-mahasiswanya yang tidak lagi berada pada pengembangan kemampuan sebagai professional, scientists, dan entrepreneur. Tetapi menurut beliau harus disempurnakan dengan pengembangan kemampuan sebagai artists, custumers, dan ecosystemparticipants. Sehingga, pada saat menjadi mahasiswa saja mereka sudah mampu produktif.

Kenapa bisa begitu? Karena menurut beliau, generasi sekarang mampu melakukan beberapa hal berbarengan alias multitasking. Kondisi ini yang harus dimanfaatkan dengan optimal, supaya tidak ada yang tertinggal dari Industri 4.0.

Mau ikut terbawa menjadi manusia Industri 4.0 atau terlibas di belakang? Pilihan ada di tangan anda. Saya sih sudah siap-siap jadi #Mom4.0. yang kepo sama teknologi. Masa kalah sama emak-emak kaya saya?