Minggu, 09 Desember 2018

Wisuda XIII Sekolah Tinggi Teknologi Bandung : The Journey Has Began

"Wisuda atau kelulusan bukan akhir dari perjuangan, tapi sebagai awal untuk memberikan lebih banyak manfaat untuk orang banyak"

Kira-kira seperti itu nasihat yang disampaikan Ketua Sekolah Tinggi Teknologi Bandung (STTB), Bapak Muchammad Naseer, S. Kom, M.T. untuk wisudawan-wisudawati yang baru dilantik hari Sabtu tanggal 8 Desember 2018 kemarin di Convention Hall Hotel Harris Jl. Peta Bandung.

Sungguh sangat mengena, sebab perjalanan yang sesungguhnya dalam mengabdi kepada lingkungan dan masyarakat baru akan dimulai. Tidak hanya untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat, tetapi juga mengenalkan kepada dunia tentang keberadaan STTB itu sendiri. 

Sebagai mantan mahasiswa era tahun 1990an saya kurang familiar dengan sekolah tinggi ini. Baru berdiri di bulan Oktober 1991, saat itu mungkin STTB kurang termasuk dalam pilihan favorite lulusan SMA. Saya pribadi baru mulai mengenal STTB setelah beberapa kali melakukan liputan kegiatan yang dilakukan. Salah satunya Selisik 2018 di bulan September 2018 lalu.

Cukup beruntung saya lagi-lagi mendapat undangan sebagai blogger di acara yang diselenggarakan oleh STTB. Kali ini acaranya Wisuda XIII STTB. Perhelatan ini akan menjadi sebuah pesta seremonial yang sangat istimewa, saya pikir. Diselenggarakan di Convention sebuah Hotel, tentulah terasa megah dan mewah. 

Nyatanya memang sangat istimewa. Bukan hanya kemewahan yang ditampilkan, tapi juga sangat khidmat dan penuh kharisma. Tidak hanya dihadiri wisudawan-wisudawati dan para orang tua, acara ini dihadiri pula oleh orang-orang penting di STTB. Pimpinan, pengurus, serta dosen-dosen.

Diawali dengan tarian Sunda sebagai pengantar sebelum pembukaan, untuk selanjutknya acara dimulai dengan seremoni penyambutan pimpinan civitas akademika. Diiringi lagu dari paduan suara, sepertinya selalu berhasil menggugah rasa kebanggaan.

Setelahnya, dilanjutkan dengan pembukaan dan sambutan dari Ketua STTB, Bapak Muchammad Naseer, S. Kom., M.T. Beliau tidak hanya sekedar menyampaikan ucapan selamat kepada para lulusan, beliau juga memaparkan banyak hal tentang STTB yang patut diketahui calon mahasiswa nantinya. 

Bahwa sejak berdirinya tahun 1991 lalu, STTB sudah meluluskan 1355 mahasiswa. Namun, untuk hari ini saja ada 183 mahasiswa, 106 orang dari jurusan Teknik Industri, 77 orang dari Teknik Informatika. Sungguh pertumbuhan yang signifikan akhir-akhir ini. 

Selain itu, beliau menyampaikan sebuah misi untuk semakin mengembangkan STTB. Bahwa dari 120 dosen yang ada, saat ini 96% adalah sudah lulus S2. Namun, tahun 2019 targetnya adalah 70% lulus S3. Harapannya, tentu saja agar ilmu dan teknologi selalu saling berkejaran dan tidak pernah ketinggalan untuk diaplikasikan.

Buktinya, dari hasil penelitian tentang alumni STTB, disimpulkan bahwa hanya butuh 45 hari saja bagi mereka untuk bisa tetap produktif. Pilihannya, melanjutkan kuliah (beasiswa), bekerja pada perusahaan, atau berwirausaha. Sungguh menunjukkan bahwa lulusan STTB sudah terjamin kemana langkahnya akan menuju di masa depan.

Saya pribadi mulai berpikir bahwa STTB ini bisa menjadi alternatif pilihan sekolah untuk anak saya yang memang sangat berminat pada komputer dan teknologinya. 

Acara dilanjutkan dengan pelatikan 183 wisudawan. Kemudian sambutan dari perwakilan mahasiswa Tina Sri Handayani, S. Kom., seorang difabel yang mampu berprestasi di Olimpiade Paralympic Daerah 2018 lalu, dengan mengantongi 3 medali sekaligus. Tak ketinggalan janji wisudawan yang dipimpin oleh Muhammad Satria, S.T. sebagai Ketua BEM di masa aktifnya. 

Selain itu pemberian penghargaan kepada mahasiswa terbaik dari masing-masing jurusan. Juga skripsi terbaik yang diwakili 4 orang dari setiap jurusan. Sungguh suatu kebanggan untuk orang tua yang ikut mendampingi mereka.

Sebelum penutupan, sempat juga pemaparan orasi ilmiah dalam bahasa Inggris dari alumni yang saat ini berkarir di Perusahaan Airbus. Seperti biasa, tentu saja orasi ini bertujuan untuk memberikan inspirasi kepada generasi penerus untuk juga bisa berkarya dan mengembangkan ilmu supaya lebih aplikatif dan berdaya guna di perusahaan atau masyarakat. 

Acara hiburan pun tak terlewatkan. Angklung dan paduan suara sungguh membuat suasana bahagia semakin terasa. Semua wajah berseri dan bergembira dengan kelulusan sebagai mahasiswa, dan berubah nama menjadi alumni Sekolah Tinggi Teknologi Bandung.

Semoga apa yang dicita-citakan dapat terwujud ya. Sebagaimana catatan kecil yang ingin saya sematkan di sini...

"Meraih bintang tak selalu harus di langit. Kamu bisa menggambarnya di awan mimpimu sendiri"

Be succes!

Be your own value!

#wisudaXIII

#sttbandung



Minggu, 02 September 2018

Seminar Telekomunikasi dan Informatika SELISIK 2018

Memahami Lebih Lengkap Sumber Daya Manusia yang Siap Menghadapi Industri 4.0

Luar biasa beruntungnya saya jadi lebih paham apa yang dimaksud Making Indonesia 4.0. Itu ungkapan yang melintas di kepala saya ketika akhirnya bisa hadir dalam Seminar Telekomunikasi dan Informatika alias SELISIK 2018, yang dihadiri akademisi dan mahasiswa. Kali ini mengambil judul "Menyiapkan Sumber Daya Manusia untuk Menghadapi Industri 4.0".

Diselenggarakan di Hotel Harris Festival Citylink Bandung pada tanggal 1 September 2018. Melanjutkan Diskusi Publik sebelumnya, STTBandung sebagai bagian dari Perguruan Tinggi tampaknya sangat nyata ingin ikut di dalam mempersiapkan kompetensi Sumber Daya Manusia. Sehingga, khususnya lulusan dari Perguruan Tinggi ini kelak tidak hanya bermodalkan ilmu, wawasan dan hasil riset, tetapi juga mampu mengintepretasikannya dalam bentuk produk yang bernilai jual, sebagai bagian dari bisnis atau industri itu sendiri.

Menurut Bapak Muchammad Naseer, pada sambutan pembukaan sebagai pimpinan STTBandung, bahwa platform penelitian Perguruan Tinggi saat ini ditantang untuk bisa menerjemahkan semua roadmap Making Indonesia 4.0. Namun, kunci keberhasilannya tentu saja tetap pada adanya hubungan yang harmonis dalam siklus yang berkesinambungan, baik dari pemerintah, pelaku industri, Perguruan Tinggi dan juga masyarakat. Maka, Making Indonesia 4.0 tidak hanya akan berhenti sebagai konsep, melainkan perubahan mind set (cara berpikir) dan action (tindakan) dari semua kalangan.

Sempat diselingi siraman rohani dari Prof. Ing. Iping Supriana Suwardi, Guru Besar dari ITB. Beliau mengingatkan kita bahwa Industri 4.0 ini pada dasarnya adalah pemahaman yang baik terhadap komputer dari Sumber Daya Manusianya. Dimulai dari, apakah itu Algoritma? Berasal dari Al Khawarizmi, seorang ilmuwan muslim yang mengelola data raksasa, dengan cara membagi-bagi. Bagaimana memahami sel dalam memproduksi sel? Bagaimana memecahkan persoalan berdasarkan bagian per-bagian.

Maka, dasar ini yang bisa digunakan utk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Yaitu dengan mengingat kepada nilai fundamentalnya. Bahwa mahluk hidup pun tercipta dari banyak sel seperti algoritma. Sehingga, memahami komputer sama dengan memahami manusia, sebagai mahluk hidup yang diciptakan oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Dengan demikian, mempelajarinya harus memiliki landasan bukan hanya pada akal tetapi juga pada rohani atau keimanan. Manusia tetap menjadi Imam atau Khalifah atas teknologi. Jangan sampai mendewakan teknologi dan melupakan landasan agama dalam pengembangan atau pemanfaatannya.

Dilanjutkan dengan penyampaian materi yang segar dari Bapak Priyantono Rudito, Ph.D. Beliau adalah Tenaga Ahli Mentri Pariwisata Republik Indonesia. Pantas saja kepiwaiannya berkomunikasi sangat terasa. Menyampaikan materi yang cukup serius menjadi sangat asik untuk diikuti. Kali ini, dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia menghadapi Industri 4.0, beliau mengusung konsep "DIGITAL MASTERY". Dengan metode 3 C (Context, Concept, Dan Content), peserta dibuat mampu menyerap materi yang dipadatkan, dari seharusnya 4 jam menjadi 50 menit saja.

Dimulai dari strategic context, kita harus pahami dua hal. Pertama, bahwa "We are truly living in digital era". Sadari dan terima bahwa kita tak dapat menolak untuk hidup di era digital. Kedua, bahwa setiap perubahan era itu terjadi "Lebih cepat dari yang diperkirakan". Kita tidak dapat menahan laju masuknya era digital dan perkembangannya.

Bagaimana itu bisa terjadi? Karena ada yang memacunya. Ada 6 hal yang dianggap sebagai digital steroids, yaitu :
1. Board brand access
2. Internet
3. Open Source
4. Application
5. Social media
6. Smart gadget

Sederhananya, mencari informasi apapun sudah tinggal 'klik'. Termasuk kebutuhan ibu-ibu untuk menyediakan masakan di rumah sekalipun. Ibaratnya sudah tidak butuh pisau dan peralatan dapur lagi. Sebab, tinggal 'klik' aplikasi di Hand phone, makanan sudah bisa diantar di depan mata (aka. By Go Food). Waaahh... Pak Priyantono sempet mengecoh saya. Saya pikir ada alat lebih canggih yang bisa memasak instan dari sekedar Microwave atau panci pressto. Ternyata, Industri 4.0 bukan hanya sampai di situ. Produk yang dihasilkan adalah sesuatu yang intinya memudahkan kegiatan manusia. Di sinilah revolusi terjadi. Dari revolusi teknologi bisa langsung berakibat pada revolusi ekonomi pula.

Namun, pada prinsipnya tetap bahwa "Digitalisation is the new normal toward Industry 4.0". Artinya, yang dihasilkan adalah tidak selalu hal yang benar-benar baru. Hanya mengubahnya menjadi 'Disruptive Product' alias menawarkan value yang tidak dapat ditolak oleh customer. Contoh yang paling relevan saat ini, hampir semua orang sudah beralih dari sekedar SMS ke platform Whatsapp. Kenapa? Karena value yang ditawarkan nyata diperlukan oleh semua kalangan.

Tinggal tugas akhirnya adalah pada strategic challenge, bagaimana cara mentransformasi digital informasi itu? Menurut Pak Priyantono harus "Going from BEST to NEXT PRACTICE". Jadi, bukan berakhir pada menghasilkan yang terbaik lagi, tetapi bagaimana membuka hambatan dari dalam diri supaya bisa menghasilkan sesuatu untuk ke depan (bukan sekedar hari ini).

Bagaimana caranya? Sejalan dengan yang disampaikan Pak Iping sebelumnya,  ternyata tetap meyakini bahwa Human Capital adalah core dimensi dari tranfsormasi digital yang sangat multidimensi ini. Digital Leadership yang berasal dari kemampuan kepemimpinan sebagai manusia yang alami, dikuatkan dengan Digital Attitude dan Digital Culture. Salah satu bentuknya adalah kreativitas dan inovasi yang tanpa henti, akan mengasilkan Business Performance yang terbaik.

Hanya saja, yang tak boleh diabaikan bahwa kunci untuk memperlancar industri 4.0 adalah kolaborasi antar generasi. Pemikiran baru dan out of the box karena belum banyak beban dari generasi millennial, didukung kebijakan dan otoritas dari generasi industri sebelumnya, tentu akan makin memudahkan sebuah ide bisa langsung dieksekusi.

Penutup dari Pak Priyantono, bahwa target Sumber Daya Manusia yang akan dibangun adalah bukan lagi sekedar di kuadran 1 sampai 4 dari Digital Capability dan Digital Leadership, tetapi loncat pada kuadran 9, yaitu yang Rahmatan Lil Alamin. Tujuannya bukan lagi untuk bisnis, tapi untuk kebaikan. Salah satu contohnya adalah Mark Zuckerberg yang mengembangkan Facebook bukan untuk bisnis, tetapi untuk memudahkan orang-orang untuk saling terhubung. Kenyataannya, nilai bisnisnya bukan mengalami perkembangan 100% tapi malah ribuan %. Luar biasa, bukan?

Melengkapi materi seminar hari ini, Bapak Prof. Suyanto, Rektor Universitas Amicom, memaparkan banyak contoh real dari persiapan Human Capital Development In Industry 4.0. Beliau membagikan banyak pengalaman dari mahasiswa-mahasiswanya yang tidak lagi berada pada pengembangan kemampuan sebagai professional, scientists, dan entrepreneur. Tetapi menurut beliau harus disempurnakan dengan pengembangan kemampuan sebagai artists, custumers, dan ecosystemparticipants. Sehingga, pada saat menjadi mahasiswa saja mereka sudah mampu produktif.

Kenapa bisa begitu? Karena menurut beliau, generasi sekarang mampu melakukan beberapa hal berbarengan alias multitasking. Kondisi ini yang harus dimanfaatkan dengan optimal, supaya tidak ada yang tertinggal dari Industri 4.0.

Mau ikut terbawa menjadi manusia Industri 4.0 atau terlibas di belakang? Pilihan ada di tangan anda. Saya sih sudah siap-siap jadi #Mom4.0. yang kepo sama teknologi. Masa kalah sama emak-emak kaya saya?

Selasa, 21 Agustus 2018

Making Indonesia 4.0, Konsep Yang Mungkin Diwujudkan?

Making Indonesia 4.0, Konsep Yang Asal Bapak Senang atau Nyata Diwujudkan?

Sebelum hadir di acara Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Teknologi Bandung yang dipimpin Muchammad Naseer bekerja sama dengan Kementrian Perindustrian RI, berjudul "Penyiapan Sumber Daya Manusia dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0", saya sempat berpikir skeptis. Apa iya, pemerintah bakal memikirkan juga solusinya jika ada dampak nyata dari pergeseran manusia oleh mesin cerdas? Kita semua kan sangat paham apa arti dari revolusi industri? Dan apa yang menjadi akibatnya nanti?

Pemerintah memang sudah mencanangkan dan membuat roadmap untuk merealisasikan Revolusi Industri 4.0 dunia dalam konsep yang lebih membumi nusantara, yaitu Making Indonesia 4.0. Bahkan sudah dimulai sejak Juli 2018 lalu.

Tinggal aplikasinya, kira-kira Sumber Daya Manusia yang ada atau yang akan datang bakal mampu mengikuti perubahan ini atau malah tergilas industri cerdas?

Pertayaannya buat saya sih sederhana? Ketika si cyber machine menggantikan 10 menjadi 3 orang saja untuk sebuah proses produksi, lalu ke manakah 7 lainnya akan disalurkan?

Ternyata kekuatiran saya terjawab. Semuanya dibahas tuntas dalam diskusi yang disampaikan 6 narasumber pada tanggal 20 Agustus 2018 di The Parlor, Dago atas, Bandung. Meskipun waktunya terbatas, tapi apa yang disampaikan mereka cukup "exactly according to the point" di bidangnya masing-masing.

Seperti kutipan dari beberapa narasumber berikut. Menurut bapak Prof. Suhono Harso Supangkat, Guru Besar Institut Teknologi Bandung, bahwa dengan kolaborasi semua pihak maka Making Indonesia 4.0 akan bisa berjalan sesuai rencana. Alias tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. 

Salah satu konsep yang akan dikembangkan dari universitas adalah Maker Space. Yaitu sebuah wadah online yang akan mempertemukan antara penghasil ide sebagai produsen dengan pengguna. Cara kerjanya tidak beda jauh dari aplikasi Taksi Online. Cukup kerenlah, ya. Buktinya, si Taksi Online saja bisa menghasilkan komoditi ekonomi dan menyerap tenaga kerja yang banyak, meskipun masih dianggap ilegal.

Secara, konsekuensi dari revolusi industri 4.0 ini adalah digitalisasi. Semua harus serba digital. Maka, informasi apapun akan ditangkap robot persis sama seperti respon manusia. Dan kita, harus mau ikut di dalamnya.

Sebelumnya, bapak Mujiyono, Kepala Pusdiklat Industri dari Kementrian Perindustrian menyatakan masih butuh banyak Sumber Daya Manusia kompeten yang bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja di bidang industri. Artinya, tak perlu kuatir ada angkatan kerja yang tidak kebagian lahan pekerjaan.

Hanya saja, PR yang paling berat adalah, mampukah sekolah atau perguruan tinggi menghasilkan Sumber Daya Manusia yang mempunyai kemampuan vokasi atau siap pakai? Bukan hanya menonjolkan pada nilai-nilai akademis saja. Sayangnya, dari 200 juta penduduk yang ada, baru 5% saja perguruan tinggi yang menyediakan jurusan vokasi sesuai kebutuhan industri. Alhasil, Kementrian Industri harus mengonsep sendiri program "Link and Match".

Konsep "Link and Match" ini padahal bukan sesuatu yang baru. Pernah dicanangkan juga pada masa kementrian pak Wardiman. Sayangnya tidak berhasil efektif atau tidak dilanjutkan dengan serius. Akibatnya, hari ini kita masih harus bekerja keras mengejar banyak ketinggalan. 

Salah satunya adalah dengan mengikatkan kerjasama antara pelaku industri dengan SMK yang sesuai kebutuhan mereka. Dari 13.000 an, sudah sekitar 1700 SMK terikat kontrak kerjasama dengan industri. Dengan demikian, kurikulumnya pun disesuaikan. Kompetensi yang dibutuhkan di manufaturing diterapkan di SMK dimaksud.

Sebaliknya, murid tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga praktek langsung di manufakturing agar bisa menguasai penggunaan mesin yang pas dengan kebutuhan. Ini yang dinamakan "Dual System". Bukan yang tertinggal dua dekade, seperti yang masih banyak ditemui.

Hingga, pada sesi terakhir yang paling menarik perhatian adalah yang disampaikan bapak Ronny P. Sasmita, Direktur Eksekutif dan Pengamat Ekonomi dari EconAct, maka kemajuan teknologi ini tidak untuk menggilas Sumber Daya Manusia yang tertinggal, tapi harus bisa menyejahterakan. Meskipun pergeseran manusia oleh mesin pintar adalah sebuah keniscayaan, tapi tetap harus meningkatkan daya hidup manusia itu sendiri.

Kalau sudah begini, apalagi yang ditakutkan dari sebuah revolusi industri? Bukan ketidakmampuan yang akan menggeser keberadaan manusia oleh robot pintar, tetapi ketidaksiapan untuk selalu meng-upgrade diri.

Agree?

Kalau saya sih iya bangeet...

#DiskusiPublikIndustri

#MakingIndonesia4

#Industri4

#Kemenperin

#STTBandung

Rabu, 18 April 2018

Mengais Rejeki di Jalan, Nyawa Taruhannya

Siapa bilang bekerja independen itu paling enak? Iya, enak karena tidak ada yang memberi perintah. Tidak sebagai bawahan, tidak juga sebagai atasan. Semua tugas dilakukan sendiri dengan tanpa batasan waktu. Kecuali target.

Siapa bilang menjadi self employee itu menyenangkan? Iya, menyenangkan jika bisa mengatur waktu dan pendapatan sesuai target, bahkan kalau perlu melampaui. Itulah nikmatnya bekerja sendiri. Hasilnya pun akan dinikmati sendiri.

Menjadi supir taksi online atau ojek online adalah salah satu profesi yang beberapa tahun terakhir ini menjadi pilihan yang paling dicari. Bukan hanya pengangguran, bahkan para pegawai setingkat manajer pun ikut tergiur. Mereka percaya, profesi ini sanggup memberikan lebih banyak penghasilan dibandingkan gaji kantoran.

Mungkin saja benar. Apalagi pada tahun-tahun awal perkembangannya. Permintaan di lapangan jauh lebih besar dibandingkan unit yang tersedia. Dengan kata lain, supir transportasi online tidak pernah kehabisan order. Penghasilan mereka bisa mencapai 2-3 kali gaji pegawai kantoran. Sungguh menggiurkan memang.

Tapi, tahukah bahwa resiko di jalanan pun tidak sedikit. Bahkan, nyawa menjadi taruhannya. Apa saja resikonya?

*Waktu Istirahat Yang Kurang Diperhatikan*

Asik dengan kesibukan memenuhi permintaan trip dari penumpang, seringkali membuat supir lupa pada waktu istirahat. Tubuh yang lelah diabaikan demi mencapai target penghasilan

*Resiko dari Kejahatan*

Pada setiap situasi, peluang kejahatan memang selalu ada. Namun, berada di jalanan terutama malam hari, membuat supir transportasi online menjadi lebih sarat resiko mengalami kejahatan. Beberapa kasus bahkan menunjukkan adanya usaha perampokan hingga pembunuhan oleh sang pelaku. Oleh karena itu, kewaspadaan sangat diperlukan.

Itulah kenapa memiliki komunitas atau grup sesama supir sangat diperlukan. Dengan komunikasi dan saling bertukar informasi bisa mengeliminasi resiko adanya kejahatan yang ekstrim.

*Bentrok Dengan Sesama Supir Transportasi Non-Online*

Hal ini seperti masalah sepele. Hanya karena dianggap mengambil jatah penumpang di suatu wilayah, seringkali harus bersitegang dengan supir angkot atau ojek pangkalan. Bahkan, tak sedikit cerita pemukulan dan pertumpahan fisik di antara mereka. Sungguh miris. Sama-sama mencari rejeki untuk keluarga, tapi kenapa harus sampai hilang akal.

Apakah karena pemahaman yang kurang ataukah memang perlu sosialisasi tentang hal ini kepada masyarakat? Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap situasi yang tidak aman ini? Yang kami tahu, masyarakat pengguna pun jadi merasa tidak nyaman.

Kalau sudah tahu resiko ini, kira-kira masih berani untuk jadi pejuang aspal di jalanan? Don't worry ya, berusaha untuk selalu mengikuti aturan dan waspada, itu yang penting. Selebihnya, kita berserah diri pada Sang Maha Kuasa.

Selamat bertugas buat para pejuang keluarga. Tetap semangat...

#salamsatuaspal