Selasa, 21 Agustus 2018

Making Indonesia 4.0, Konsep Yang Mungkin Diwujudkan?

Making Indonesia 4.0, Konsep Yang Asal Bapak Senang atau Nyata Diwujudkan?

Sebelum hadir di acara Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Teknologi Bandung yang dipimpin Muchammad Naseer bekerja sama dengan Kementrian Perindustrian RI, berjudul "Penyiapan Sumber Daya Manusia dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0", saya sempat berpikir skeptis. Apa iya, pemerintah bakal memikirkan juga solusinya jika ada dampak nyata dari pergeseran manusia oleh mesin cerdas? Kita semua kan sangat paham apa arti dari revolusi industri? Dan apa yang menjadi akibatnya nanti?

Pemerintah memang sudah mencanangkan dan membuat roadmap untuk merealisasikan Revolusi Industri 4.0 dunia dalam konsep yang lebih membumi nusantara, yaitu Making Indonesia 4.0. Bahkan sudah dimulai sejak Juli 2018 lalu.

Tinggal aplikasinya, kira-kira Sumber Daya Manusia yang ada atau yang akan datang bakal mampu mengikuti perubahan ini atau malah tergilas industri cerdas?

Pertayaannya buat saya sih sederhana? Ketika si cyber machine menggantikan 10 menjadi 3 orang saja untuk sebuah proses produksi, lalu ke manakah 7 lainnya akan disalurkan?

Ternyata kekuatiran saya terjawab. Semuanya dibahas tuntas dalam diskusi yang disampaikan 6 narasumber pada tanggal 20 Agustus 2018 di The Parlor, Dago atas, Bandung. Meskipun waktunya terbatas, tapi apa yang disampaikan mereka cukup "exactly according to the point" di bidangnya masing-masing.

Seperti kutipan dari beberapa narasumber berikut. Menurut bapak Prof. Suhono Harso Supangkat, Guru Besar Institut Teknologi Bandung, bahwa dengan kolaborasi semua pihak maka Making Indonesia 4.0 akan bisa berjalan sesuai rencana. Alias tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. 

Salah satu konsep yang akan dikembangkan dari universitas adalah Maker Space. Yaitu sebuah wadah online yang akan mempertemukan antara penghasil ide sebagai produsen dengan pengguna. Cara kerjanya tidak beda jauh dari aplikasi Taksi Online. Cukup kerenlah, ya. Buktinya, si Taksi Online saja bisa menghasilkan komoditi ekonomi dan menyerap tenaga kerja yang banyak, meskipun masih dianggap ilegal.

Secara, konsekuensi dari revolusi industri 4.0 ini adalah digitalisasi. Semua harus serba digital. Maka, informasi apapun akan ditangkap robot persis sama seperti respon manusia. Dan kita, harus mau ikut di dalamnya.

Sebelumnya, bapak Mujiyono, Kepala Pusdiklat Industri dari Kementrian Perindustrian menyatakan masih butuh banyak Sumber Daya Manusia kompeten yang bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja di bidang industri. Artinya, tak perlu kuatir ada angkatan kerja yang tidak kebagian lahan pekerjaan.

Hanya saja, PR yang paling berat adalah, mampukah sekolah atau perguruan tinggi menghasilkan Sumber Daya Manusia yang mempunyai kemampuan vokasi atau siap pakai? Bukan hanya menonjolkan pada nilai-nilai akademis saja. Sayangnya, dari 200 juta penduduk yang ada, baru 5% saja perguruan tinggi yang menyediakan jurusan vokasi sesuai kebutuhan industri. Alhasil, Kementrian Industri harus mengonsep sendiri program "Link and Match".

Konsep "Link and Match" ini padahal bukan sesuatu yang baru. Pernah dicanangkan juga pada masa kementrian pak Wardiman. Sayangnya tidak berhasil efektif atau tidak dilanjutkan dengan serius. Akibatnya, hari ini kita masih harus bekerja keras mengejar banyak ketinggalan. 

Salah satunya adalah dengan mengikatkan kerjasama antara pelaku industri dengan SMK yang sesuai kebutuhan mereka. Dari 13.000 an, sudah sekitar 1700 SMK terikat kontrak kerjasama dengan industri. Dengan demikian, kurikulumnya pun disesuaikan. Kompetensi yang dibutuhkan di manufaturing diterapkan di SMK dimaksud.

Sebaliknya, murid tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga praktek langsung di manufakturing agar bisa menguasai penggunaan mesin yang pas dengan kebutuhan. Ini yang dinamakan "Dual System". Bukan yang tertinggal dua dekade, seperti yang masih banyak ditemui.

Hingga, pada sesi terakhir yang paling menarik perhatian adalah yang disampaikan bapak Ronny P. Sasmita, Direktur Eksekutif dan Pengamat Ekonomi dari EconAct, maka kemajuan teknologi ini tidak untuk menggilas Sumber Daya Manusia yang tertinggal, tapi harus bisa menyejahterakan. Meskipun pergeseran manusia oleh mesin pintar adalah sebuah keniscayaan, tapi tetap harus meningkatkan daya hidup manusia itu sendiri.

Kalau sudah begini, apalagi yang ditakutkan dari sebuah revolusi industri? Bukan ketidakmampuan yang akan menggeser keberadaan manusia oleh robot pintar, tetapi ketidaksiapan untuk selalu meng-upgrade diri.

Agree?

Kalau saya sih iya bangeet...

#DiskusiPublikIndustri

#MakingIndonesia4

#Industri4

#Kemenperin

#STTBandung